Berikut ini konsep pendidikan di zaman Rasulullah SAW dan para sahabat dalam menata langkah untuk anak-anaknya. Konsep ini dapat juga dapat kita terapkan dalam kehidupan yang serba moderen seperti sekarang ini. Langsung kita simak tulisan berikut ini:
Rasulullah SAW mensunnahkan agar para orangtua mengajarkan anaknya untuk mengendarai kuda, berenang dan belajar memanah. Tidak saja dalam arti harfiah, tetapi beberapa pakar menerjemahkan mengendarai kuda adalah mengajarkan anak tentang skill of life. Yaitu memberinya keterampilan atau keahlian. Berenang adalah pelajaran tentang survival of live, bagaimana mendidik anak agar selalu bersemangat, tidak mudah menyerah dan tegar dalam menghadapi masalah.
Kemudian memanah adalah mengajarkan anak untuk memiliki thinking of skill, yaitu dapat menentukan target dalam hidupnya. Karena setiap anak adalah “unik”, maka hargailah "keunikannya”. Biarkan anak menekuni hobbynya. Sebagai orang tua kita dapat membuka jalan ke masa depan anak dengan membantu mengembangkan minatnya dan menyusun rencana masa depannya. Dengan demikian diharapkan kemandiriannya akan terbangun dan yakinkan anak akan kemampuannya, sehingga anak tumbuh menjadi percaya diri.
Belajar memanah seperti berlatih membangun thinking of skill, yaitu membangun kemandirian berpikir untuk menentukan dan meraih impian atau cita-citanya. Dan secara harifiahpun kegiatan mengendarai kuda, berenang dan memanah tersebut adalah kegiatan berolah raga yang bertujuan untuk melatih anak agar tumbuh menjadi anak yang berfisik kuat dan berjiwa sportif.
*) dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib RA. “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya”. Pendidikan pada anak dilalui dalam 3 tahap.
1. Pada 7 tahun pertama, perlakukan anak sebagai raja (0-7 th).
Yang dimaksud di sini, bukan berarti kita menuruti semua keinginan anak, melainkan memberikan perhatian penuh kepada anak, karena di usia inilah mereka mengalami masa emas. Saat maksimal pembentukan sel otak 70%, dan kemampuan anak menyerap informasi masih sangat kuat. Jangan serahkan sepenuhnya pada pengasuh, jangan sepenuhnya pada nenek-kakeknya. Rawatlah mereka dengan tangan kita. Perhatian kecil yang sederhana tapi tulus dari lubuk hati.
2. Pada 7 tahun kedua, perlakukan anak sebagai tawanan perang (7-14 th)
‘Serem’ yaaa dengernya ‘tawanan perang’. Maksudnya adalah mulai mendisiplinkan anak. Rasulullah SAW pun bersabda, untuk menyuruh anak-anak untuk shalat di umur 7 tahun, lalu memukulnya jika tidak shalat di umur 10 tahun. Pada fase kedua inilah akan terjadi pubertas. Anak harus dipersiapkan disiplin sebelum menginjak pubertas dimana semua ketentuan rukun Islam (Shalat, Puasa, dll) harus ia lakukan sendiri dan akan menjadi dosa jika ia tinggalkan.
3. Pada Fase Ketiga setelah 7 th kedua (14 tahun ke atas), perlakukan anak sebagai sahabat.
Di usia ini, anak bergulat dengan pencarian jati diri. Ia mengalami banyak peristiwa emosional dan sensitif dengan tubuhnya sendiri. Ajak anak untuk sering berbagi cerita, curhat, dan ajak pula teman-temannya untuk akrab dengan kita. Dengan begitu kita bisa mengontrol anak tanpa harus mengekang. Dan jiwa jati diri anak akan terbentuk dengan baik karena adanya kepercayaan dari orang tua.
*) Imam Syafii pernah memberikan contoh yang layak kita teladani. Imam Syafii mengawal betul pertumbuhan anaknya. Untuk anak lelakinya, ketika diperkirakan memasuki usia baligh, seusai qiyamul lail beliau selalu menyempatkan diri untuk memeriksa pakaian dalam anaknya. Adakah pakaian dalam itu basah oleh mimpi yang menjadi pertanda peralihan usia?
Dan ketika suatu hari beliau mendapati anaknya telah melalui fase tersebut, sang imam memiliki cara khusus untuk menyambutnya. Beliau mengundang seluruh tetangga dan di depan mereka Imam Syafii mempersaksikan dan meminta anaknya untuk bersyahadat ulang. Pada hadirin beliau berpesan, jika mereka melihat anaknya berbuat salah, maka diminta untuk segera menegurnya.
Pengalaman Imam Syafii mengawal pertumbuhan anaknya dapat menginspirasi kita untuk menjelaskan dan mengajarkan pada anak hal-hal yang wajib dilakukan bila ia telah mendapat tanda ‘akil baligh’ tersebut. Hal ini juga dimaksudkan agar pengalaman pertama mendapat tanda tersebut tidak dishare kepada teman, tetapi pada ayah atau ibunya.
sumber : https://www.facebook.com/AljabarPrivate/posts/193860027405990
0 Response to "Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya"
Posting Komentar